Vonis bebas guru Supriyani, guru honorer SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, adalah pengingat penting atas dinamika rumit yang melibatkan guru, murid, orang tua, dan sistem hukum kita. Kasus ini, yang bermula dari tuduhan penganiayaan seorang siswa oleh gurunya, mencerminkan bagaimana batas antara mendidik dan melanggar hukum semakin buram di tengah ketegangan hubungan sosial dan hukum di sekolah.
Di satu sisi, kasus Supriyani menyingkap tren mengkhawatirkan: kriminalisasi guru dalam menjalankan tugasnya. Pada sudut lain, tak dapat dimungkiri, ada pula segelintir guru yang menyalahgunakan kewenangan mereka dan melanggar kode etik pendidikan. Di tengah dua ekstrem ini, sistem pendidikan Indonesia menghadapi tantangan besar. Perlindungan para pendidik yang bertanggung jawab, sekaligus memastikan keamanan dan kesejahteraan siswa.
Guru bukan sekadar pengajar. Mereka adalah pendidik yang bertugas membangun karakter, mengajarkan disiplin, dan membentuk moral anak-anak bangsa. Namun, tugas itu semakin terancam ketika upaya mendidik dianggap sebagai tindak kriminal. Dalam kasus Supriyani, misalnya, tuduhan penganiayaan muncul setelah guru tersebut mendisiplinkan seorang siswa, yang kebetulan merupakan anak seorang anggota kepolisian.
Kasus ini sempat berkembang menjadi polemik besar karena tekanan publik, terutama dari rekan-rekan guru dan masyarakat yang menganggapnya sebagai bentuk ketidakadilan. Berkat desakan publik dan telaah ulang hukum oleh kejaksaan, Akhirnya hakim pun menjatuhkan vonis bebas guru Supriyan, tepat di Hari Guru (25/11). Namun, kerusakan sudah terjadi. Nama baik, reputasi, dan mentalitas seorang guru dipertaruhkan, sementara rasa takut di kalangan guru lain kini semakin besar.
Tekanan terhadap guru tak hanya datang dari sistem hukum, tetapi juga dari orang tua murid yang semakin sering menafsirkan hukuman disiplin sebagai bentuk penganiayaan. Fenomena ini adalah cermin dari pergeseran hubungan antara orang tua, guru, dan murid. Jika dulu guru dipandang sebagai otoritas moral di sekolah, kini posisi itu semakin sering dipertanyakan. Orang tua yang seharusnya menjadi mitra dalam mendidik anak, kerap kali menjadi pihak yang justru melawan guru. Dalam kasus-kasus seperti ini, siapakah yang akan melindungi pendidik kita?
Namun, di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada sejumlah guru yang menyalahgunakan posisi mereka. Kasus-kasus kekerasan fisik dan pelecehan seksual terhadap siswa oleh guru adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh berbagai laporan yang mencoreng citra profesi mulia ini. Dalam situasi seperti ini, penegakan hukum yang tegas tentu diperlukan.
Di tengah realitas ini, muncul tantangan besar bagi dunia pendidikan: bagaimana menyeimbangkan perlindungan terhadap guru dengan tanggung jawab mereka untuk mendidik siswa tanpa melanggar batas-batas moral dan hukum. Ketika kekerasan dalam dunia pendidikan menjadi isu yang terus berkembang, sangat penting untuk menegaskan bahwa sekolah harus menjadi ruang aman bagi semua pihak—baik siswa maupun guru.
Dinamika ini menuntut pembenahan mendalam terhadap sistem pendidikan dan hukum kita. Perlindungan hukum terhadap guru harus diperkuat, tetapi tanpa mengurangi akuntabilitas mereka. Dalam konteks ini, beberapa langkah konkret perlu diambil.
Pertama, pemerintah perlu menyusun kerangka hukum yang jelas untuk melindungi guru dari kriminalisasi yang tidak berdasar. Kerangka ini harus memastikan bahwa setiap tindakan pendisiplinan yang dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan tidak dapat dijadikan dasar untuk penuntutan pidana. Selain itu, mekanisme mediasi antara guru dan orang tua perlu diperkuat untuk menyelesaikan konflik di tingkat sekolah sebelum masalah dibawa ke ranah hukum. Penyelesaian secara kekeluargaan dan restorative justice perlu dikedepankan.
Kedua, perlu ada pelatihan berkelanjutan bagi guru mengenai pendekatan disiplin yang sesuai dengan norma-norma pendidikan dan hukum. Guru harus memahami batasan hukum dalam mendidik siswa, sementara orang tua juga perlu diberikan edukasi tentang pentingnya disiplin yang diterapkan oleh guru.
Ketiga, peningkatan pengawasan terhadap guru yang benar-benar melakukan pelanggaran harus dilakukan secara transparan dan adil. Dalam hal ini, sistem pengawasan internal sekolah dan peran dinas pendidikan sangat krusial. Tindakan tegas terhadap segelintir guru yang menyalahgunakan posisi mereka akan membantu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan.
Vonis bebas guru Supriyani juga menjadi pelajaran bagi semua pihak: guru, orang tua, aparat hukum, dan masyarakat. Kita perlu memulihkan kepercayaan terhadap guru sebagai pendidik bangsa. Membangun kepercayaan ini membutuhkan keterbukaan dialog dan penguatan hubungan antara sekolah dan orang tua sebagai mitra dalam pendidikan.
Di tengah perubahan sosial yang cepat, sekolah harus kembali menjadi ruang belajar yang aman, tempat siswa merasa nyaman untuk berkembang, dan guru merasa terlindungi saat menjalankan tugasnya. Pada akhirnya, semua pihak harus mengingat bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk generasi muda yang bermoral, berkarakter, dan bertanggung jawab. Guru, sebagai pilar utama pendidikan, harus diperlakukan dengan hormat yang selayaknya.
Vonis bebas guru Supriyani adalah secercah harapan bagi para pendidik Indonesia. Namun, harapan ini tidak boleh berhenti pada satu kasus saja. Negara, melalui sistem hukumnya, harus memastikan bahwa guru tidak lagi menjadi korban kriminalisasi yang tidak adil. Di saat yang sama, guru pun harus menjaga integritas profesinya.
Melindungi guru bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal menjaga masa depan pendidikan bangsa. Kita tidak bisa membiarkan guru kehilangan keberanian untuk mendidik, karena tanpa guru yang berani dan bermartabat, kita akan kehilangan generasi yang tangguh dan berkarakter. Dengan vonis bebas guru Supriyani ini semoga fungsi guru sebagai pendidik semakin terlindungi. Kuasai hukum, lindungi pendidikan.