JAKARTA, kuasahukum.online – Ketua Umum Federasi Advokat Republik Indonesia (FERARI), Dr. Teguh Samudera menolak tegas bahwa Peradi merupakan wadah tunggal advokat Indonesia. Kritik keras dilontarkannya terhadap pernyataan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang menyebutkan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai state organ dan wadah tunggal advokat Indonesia. Menurut Teguh, pernyataan tersebut tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga berpotensi merusak tatanan hukum di Indonesia di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Pernyataan Yusril berpotensi merusak tatanan hukum di Indonesia di era Presiden Prabowo. Juga memperburuk penegakan hukum karena berpikir sesat dengan menganggap advokat berada dan sebagai state organ,” ujar Teguh dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (13/12).
Seperti yang diliput beberapa media, Yusril menyebutkan bahwa Peradi memiliki kedudukan sebagai state organ sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Selain itu juga menyebutkan bahwa Peradi merupakan wadah tunggal advokat Indonesia, dalam Rakernas Peradi di Jimbaran Bali (5/12).
Menurut Teguh, profesi advokat memiliki sifat independen yang tidak terikat oleh sistem pemerintahan. Ketum FERARI ini menilai pandangan Yusril dapat mengaburkan makna dan posisi advokat sebagai pilar penegakan hukum yang otonom.
“Advokat bebas dan mandiri tegak berdiri diluar sistem pemerintahan. Patut diduga dan ditengarai adanya itikad buruk yang terselubung dari seorang Menko yang asal bicara dengan mengabaikan fakta hukum dan realita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tulis Teguh Samudera.
Pendirian Peradi Tidak Memenuhi Tenggat Waktu
Teguh menjelaskan bahwa Peradi baru resmi berdiri pada 8 September 2005 melalui Akta Notaris No. 30 yang dibuat oleh Buntario Trigis Darmawa Ng., SE.SH.MH. Fakta ini, menurut Teguh Samudera, sudah melanggar batas waktu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang hanya memberikan waktu dua tahun sejak disahkannya, untuk pembentukan organisasi advokat. Waktu dua tahun itu telah berakhir pada 5 April 2005. Dengan dilewatinya waktu dua tahun, maka Peradi bukanlah wadah tunggal advokat Indonesia yang disebutkan dalam UU No.18 Tahun 2003.
“Pendirian ini sudah melewati batas waktu 2 (dua) tahun. Tidak sesuai lagi dengan amanat UU yang memberikan batas waktu dua tahun sejak UU Advokat disahkan” lanjut Teguh Samudera dalam pesan tertulisnya.
Selain itu, ia juga menyoroti bahwa empat organisasi advokat yang semula menjadi pendiri Peradi telah mencabut dukungannya. Pencabutan itu dilakukan melalui Akta Notaris Catur Virgo No. 67 tanggal 30 Desember 2008. Alasan pencabutan ini adalah karena mereka tidak pernah menandatangani akta pendirian Peradi di hadapan notaris.
“Terhadap Akte Perdirian Peradi tersebut pun faktanya pada tanggal 30 Desember 2008 dengan Akta Notaris Catur Virgo No. 67 Tanggal 30-12-2008 (sebelum didaftarkan ke Menkumham RI dan mendapat SK Dirjen AHU Nomor SK : AHU-120. AH.01.06 tahun 2009 tanggal 13 November 2009), telah dinyatakan PERADI BUBAR oleh 4 (empat) organisasi yang semula mendirikan,” tulis Teguh Samudera.
“Taggal 21 Desember 2004 yang sering disebut sebagai tanggal berdirinya Peradi hanyalah deklarasi nama. Sedangkan akta resmi baru dibuat hampir setahun setelah itu,” tegas Teguh.
Putusan Mahkamah Konstitusi: Tidak Ada Wadah Tunggal Advokat Indonesia
Teguh Samudera juga membantah pernyataan Yusril yang menyebut Peradi sebagai wadah tunggal advokat sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, tiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Nomor 101/PUU-VII/2009, Nomor 112/PUU-XII/2014, dan Nomor 36/PUU-XIII/2015, telah secara tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi advokat untuk tergabung dalam organisasi tunggal tertentu.
Putusan MK tersebut menegaskan bahwa pengadilan tinggi wajib mengambil sumpah advokat tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi tertentu. Baik Peradi maupun organisasi lainnya dapat disumpah menjadi advokat.
“Putusan MK ini menegaskan bahwa tidak ada monopoli dalam dunia advokat. Pandangan Yusril bertentangan dengan fakta hukum yang telah ada,” kata Teguh.
Teguh Samudera mengutip amar putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 menegaskan antara lain bahwa:
- Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan
- Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi yang sah diselesaikan melalui peradilan umum.
Dari penelusuran redaksi media ini, dua putusan Mahkamah Konstitusi berikutnya menguatkan putusannya ini. Dua putusan tersebut adalah Putusan MK Nomor 112/PUU-XII/2014, dan Nomor 36/PUU-XIII/2015.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 menyatakan lagi bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”,
Tiga putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan jelas memerintahkan Pengadilan Tinggi, atas perintah Undang-undang, untuk mengambil sumpah Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat tertentu, yang pada putusan tersebut jelas menyebutkan Peradi dan KAI.
SKMA: Menguatkan Tidak Ada Wadah Tunggal Advokat Indonesia
Teguh Samudera juga menyebutkn bahwa tidak hanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui tidak adanya lagi wadah tunggal advokat Indonesia. Putusan MK saling menguatkan dengan Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No. 73/KMA/HK.01/2015.
Melalui beleid yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung saat itu, Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.h., M.H., menegaskan bahwa “Terhadap Advokat yang belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa Organisasi Advokat yang mengatasnamakan Peradi dan pengurus Organisasi Advokat lainnya, hingga terbentuknya Undang-undang Advokat yang baru.
Redaksi juga menelisik isi SKMA No. 73/KMA/HK.01/2015 tanggal 25 September2015 ini. Dalam petunjuk point ke dua disebutkan bahwa pada awalnya penyumpahan advokat harus melalui usulan Peradi ditetapkan pada SKMA No. 089/KMA/VI/2010, tanggal 25 Juni 2010, sebagai jiwa kesepakatan 24 Juni 2010. Ternyata, demikian dalam SKMA tersebut, “kesepakatan tersebut tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, bahkan Peradi yang dianggap sebagai wadah tunggal sudah terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah. Disamping itu berbagai Pengurus Advokat dari organisasi-organisasi lainnya juga mengajukan permohonan penyumpahan.” Dengan SKMA No. 73/KMA/HK.01/2015 tanggal 25 September2015 ini maka wadah tunggal advokat Indonesia belum ada yang diakui karena semua organisasi advokat diakui oleh SKMA ini untuk mengajukan penyumpahan advokat di Pengadilan Tinggi.
Usulan Teguh Samudera
Sebagai respons atas pernyataan Yusril, Teguh mengusulkan rapat bersama lintas organisasi advokat untuk memastikan independensi profesi ini tetap terjaga. Ia juga mendorong advokat di seluruh Indonesia untuk bersikap kritis dan bersatu demi memperkuat supremasi hukum di tanah air. (kho/ms)